Tentang_Saudara_Miskin


Tentang_Saudara_Miskin

"Pinjam itu kata lainnya minta. Bilang aja kalo mau minta" --Quotes Burhan

Musim Paceklik

Dinginnya udara pagi khas musim kemarau masih menggigit. Bahkan Gunung Galunggung nun di ufuk barat sana masih berselimut awan. Penampakannya bisa terlihat jelas dari jendela dapur rumah semi permanen milik keluarga Yayah. Meski begitu, di dalam ruangan dapur yang berdindingkan bilik bambu itu, Yayah beserta ketiga putrinya sudah sibuk.

Nur, si Sulung dan Siti yang hanya terpaut usia dua tahun, sedang balapan memarut singkong dengan parutan gangsor.

"Ayo Teh, cepetan. Nanti kita ketinggalan film Doraemon." Siti berbisik ke telinga kakaknya.

Mendengar itu, Nur langsung menambah kecepatan tangannya. Tak ingin jika minggu ini acara nonton televisi di rumah Teh Juhanah gagal lagi.

Di ambang pintu yang berhadapan langsung dengan halaman belakang, Yayah duduk berselonjor. Ia sedang membuang kulit ari batang talas yang akan dijadikan sayur. Sesekali matanya memerhatikan si Bungsu Ani yang tengah memberi makan ayam.

"Mak, hari ini kita makan antewor lagi?" tanya Nur seraya mengambil singkong terakhir di baskomnya. Antewor adalah penganan dari singkong yang diparut kasar lalu dikukus. Biasanya dimakan bersama masakan berkuah santan.

"Siti ga suka antewor. Pengennya makan nasi," tambah Siti.

"Iya, Mak. Bosen. Minggu kemarin kita hampir seminggu penuh makan antewor sama sayur lompong." Nur menyahut sambil menunjuk batang-batang talas di samping kaki ibunya.

Yayah bergeming. Seolah-olah tak mendengar apa pun. Ia masih fokus dengan batang-batang talasnya. Meski dalam hati, dirinya pun mengeluh. Apa mau dikata. Tempayan tempat beras sudah kosong. Uang yang ditinggalkan Kang Wawan--suaminya--empat bulan lalu, sekarang tinggal beberapa rupiah. Hanya cukup untuk beli ikan asin bolocot dua ons.

Sudah dua musim tanam padi, hujan tak jua turun. Sawah mengering. Sungai surut, tak sanggup lagi untuk mengairi lahan-lahan pertanian warga. Stok padi hasil panen tiga petak sawahnya sebelum kemarau panjang datang pun, sudah ia giling semua. Tak ada lagi yang tersisa.

"Mak, kenapa kita ga pergi ke rumah Nini aja? Kita makan di sana. Nini ga pernah kekurangan nasi." Siti berujar sambil membayangkan nasi putih mengepul dari bakul yang selalu tersedia tiap Siti datang bertandang ke rumah sang nenek.

"Iya, Mak. Beras Nini banyak banget di lumbung. Kita minta aja sama Nini."

Tangan Yayah seketika mematung. Wanita empat puluh tahun itu menoleh ke arah Siti dan Nur.

"Jangan biasakan meminta-minta kalo kita masih mampu berusaha mah. Ga baik. Nanti bisa bikin kita malas. Dan jangan suka mencela makanan. Pamali!"

Nur dan Siti langsung menunduk.

"Beruntung kita masih punya banyak singkong. Sayur-sayuran masih tumbuh di halaman. Kita masih bisa mengisi perut dengan kenyang. Di luaran mungkin banyak yang kelaparan."

Kedua anaknya itu kini tak lagi berkata-kata. Kembali fokus menyelesaikan pekerjaan mereka.

Yayah menghela napas. Tahun ini rasanya tahun paceklik yang cukup berat. Baru kali ini keluarga mereka sampai kehabisan beras dan uang. Namun, ia juga terlalu malu untuk meminta bantuan kepada Mak Rukoyah--ibundanya. Belum lagi kalau saudara-saudaranya tahu ia meminta makan pada ibunya, bisa jadi bahan omongan di belakang Yayah. Salah-salah, nanti menuduh Wawan tak mampu mencukupi kebutuhan perut anak istri.

Bukan suudzon. Namun, Yayah sudah paham betul karakter dari saudara-saudaranya. Ditambah mereka kurang menyukai suaminya itu.

"Teteh, Siti. Kalo udah selesai coba kalian tulis surat buat Bapak. Nanti emak titipin ke Mang Jenal. Katanya, Mang Jenal mau berangkat lagi ke kota, besok." Yayah berkata seraya memindahkan batang talas yang sudah bersih ke dalam baskom yang lebih besar.

Nur dan Siti saling pandang dengan mata berbinar. Mengirim surat berarti bisa menyebutkan semua keinginan mereka, dan biasanya sebagian besar permintaan selalu dikabulkan bapak.

Siti yang pertama selesai. Setengah berlari ia melesat ke kamarnya. Mengeluarkan buku tulis dan pulpen dari tas kumal yang menggantung di dinding. Kemudian ia kembali ke dapur, siap menuliskan semua permintaan dan harapan ke bapak.

"Cuci tangan dulu. Jorok! Udah sini yang nulisnya teteh, aja. Tulisan kamu jelek." Nur merebut alat tulis dari tangan Siti.

Setengah jam kemudian, tiga gadis cilik berbeda usia itu sudah duduk lesehan di atas lantai semen dapur, mengitari buku tulis. Kepala mereka beradu, sambil sesekali terkikik membayangkan semua yang akan ditulis bisa terwujud.

Yayah hanya geleng-geleng kepala dari depan tungku sembari memarut kelapa yang akan ia jadikan santan untuk sayur lompong nanti.

"Bilangin ke Bapak, beras sudah habis dan emak udah ga pegang uang. Itu yang penting."

"Iya, Mak," sahut Nur, anak gadis Yayah yang kini duduk di tahun terakhir sekolah dasar.

"Cepetan tulisin di NB-nya. Siti pengen rok balon sama tas gambar sailormoon kayak punya Ipah." Siti mendesak Nur ketika dilihatnya jemari sang kakak tengah menuliskan kata NB di akhir surat.

"Sabar, atuh." Akhirnya Nur bisa menuangkan permintaan kepada bapaknya. Gadis berkepang dua itu butuh seragam dan sepatu baru untuk masuk SMP nanti.

"Kalo Ani mau apa?" tanya Siti kepada adiknya yang masih berusia lima tahun.

Ani hanya bengong. Bingung memikirkan apa yang ia inginkan.

"Ani pengen susu kaleng cap Nona," cetus Ani, "itu yang kayak di tivinya Teh Juhanah," sambungnya yang membuat seisi dapur tertawa.

Di tengah gairah menulis surat, terdengar seseorang mengucapkan salam dari pintu depan.

Yayah buru-buru bangkit menuju asal suara.

"Eh, Mang Jenal. Baru saja saya mau ke rumah, mau nitip surat buat Kang Wawan." Yayah tersenyum ketika melihat siapa yang berdiri di teras.

Namun, raut muka Mang Jenal membuat perasaan Yayah tak nyaman.

"Ada apa, Mang?"

"Ceu, tadi Amir baru pulang dari kota. Katanya, Wawan kecelakaan. Ketabrak mobil."

Yayah menutup mulut saking terkejutnya. Sedang ketiga anaknya yang mengintip di ambang pintu mulai berkaca-kaca.

Surat yang telah Siti lipat sedemikian rupa untuk bapaknya, kini ia remas. Hatinya hempas dan cemas.

Satu sisi ia kecewa karena semua yang ada di surat mungkin tak akan pernah terwujud. Sisi lainnya, ia begitu khawatir. Bayangan orang kecelakaan, berdarah-darah seperti di sinetron yang pernah Siti tonton di televisi Teh Juhanah mengusik pikirannya.

Air mata gadis berambut keriting itu tiba-tiba meleleh. Bagaimana kalau bapaknya juga seperti itu?

"Trus, gimana keadaannya?" tanya Yayah gemetar.

"Katanya tangannya patah. Mukanya babak belur.  Soalnya, posisi jatuhnya tersungkur."

"Ya Allah." Yayah menekan dadanya dengan kuat.

Di belakang, Siti mulai menggerung. Tangisnya pecah. Tak sanggup membayangkan bapaknya dengan tangan patah.

Melihat Siti, Ani pun ikut menangis keras.  Mendengar kata tangan patah membuat gadis cilik berlesung pipit itu membayangkan tangan bapak lepas seperti tangan boneka milik Tania tetangganya.

Gegas, Nur merangkul kedua adiknya. Matanya memerah dengan bibir bergetar menahan tumpahan air mata. Namun, ia berusaha tegar dan kuat seperti amanat bapak. Ia harus mampu jadi pengayom dan pelindung untuk Siti dan Ani.

"Beruntung orang yang nabrak bertanggung jawab. Wawan udh dibawa ke rumah sakit. Dan katanya besok mau diantar ke sini. Sedangkan gerobak dan barang dagangannya hanya sedikit yang selamat. Gerobaknya ancur. Ceu Yayah siap-siap saja di rumah. Saya permisi pulang dulu."

"Terima kasih, Mang," ucap Yayah parau yang dijawab anggukan dari Mang Jenal.

Yayah sedikit limbung. Serasa seluruh tulangnya lolos. Ada bulir bening jatuh tatkala kelopak matanya mengedip.

Melihat itu, Nur segera melepaskan adik-adik dari dekapan, dan langsung menghambur ke pelukan ibunya.

Setahu Nur, ibunya adalah wanita yang sangat tegar. Seumur hidup, hampir tak pernah melihat sang ibu menitikkan air mata. Pastilah, kini dia sangat terpukul.

Tak lama Siti dan Ani pun ikut memeluk tubuh kurus Yayah.

"Emak ga apa-apa. Teteh, Siti, tolong bersihin ruang tengah, ya. Sapu dan pel terus gelar tikar. Jangan diberantakin lagi, ya. Emak mau selesain dulu masak." Yayah mengelus pucuk kepala anak-anaknya lalu kembali ke dapur.

Pikiran Yayah berkecamuk. Matanya lekat menatap lidah api yang menari-nari di tungku. Namun, hatinya memgembara. Ia resah. Otaknya tengah berputar, mencari jalan keluar dari himpitan ekonomi yang kini tengah mengujinya.

Anak-anak minggu depan kembali sekolah. Setelah libur catur wulan selesai, pasti butuh uang spp dan uang saku. Sebentar lagi, Nur juga masuk SMP, belum lagi kemarau panjang yang entah sampai kapan berakhir. Sekarang, ditambah suaminya kecelakaan. Sudah jeIas tak akan ada pemasukkan jika suaminya tak bekerja.

Yayah memijit keningnya. Setelah ditimbang-timbang, rupanya tak ada jalan lain selain harus pergi ke rumah ibunya.

Keesokan harinya, ketika matahari baru merangkak dari balik Gunung Sawal di ufuk timur sana, Yayah sudah bersiap pergi. Memasukkan dua botol minyak kelapa buatan sendiri ke dalam plastik. Ia selalu ingat, jika ibunya sangat suka minyak kelapa untuk memasak. Lebih wangi, katanya.

"Teh, tolong jagain adik-adik sebentar. Emak ga bakal lama."

Nur mengangguk.

"Jangan kemana-mana. Takutnya, bapak datang."

Lagi-lagi Nur mengangguk.

Yayah pun pamit dan pergi menuju rumah ibunya yang berjarak sekitar tiga kilo. Masih satu desa, tetapi berbeda kampung. Biasa Yayah tempuh dengan berjalan kaki.

Setelah sampai ke tujuan. Yayah malah terpaku di depan pagar rumah gedong bergaya tempo dulu itu. Sejak menikah dengan Wawan, hatinya sering kebat-kebit tiap kali menginjakkan kaki di tempat dulu ia dibesarkan. Beberapa hal di masa lalu masih belum terobati dengan jalannya waktu.

Dengan menguatkan hati, Yayah memasuki pekarangan yang dipenuhi beragam tumbuhan obat dan juga sayur mayur. Hal yang kini Yayah tiru di rumah. Menjadikan setiap jengkal tanah menghasilkan sesuatu yang berguna untuk keluarganya.

"Assalamualaikum," ucap Yayah. Tidak di pintu depan. Melainkan langsung membuka pintu dapur yang berada di bagian samping rumah.

Hati Yayah mencelos. Sungguh tak tepat waktu yang ia pilih. Di dapur, selain Mak Rukoyah, ada Maryam dan Burhan. Dua dari enam saudaranya yang lain. Mereka memang tinggal tak jauh dari rumah emak. Hanya terpaut beberapa rumah. Yang membuat Yayah tak nyaman adalah karena lidah mereka yang terkenal tajam.

"Waalaikumsalam," jawab ketiganya serempak.

Yayah masuk sesantai mungkin sambil meletakkan jinjingannya yang berisi botol minyak kelapa di bufet dekat pintu ke ruang tengah.

"Bawa apa, Yah?" tanya Burhan.

"Minyak keletik, Kang," jawab Yayah seraya mendekat ke arah mereka yang duduk mengitari tampah. Ketiganya sedang mengiris-iris buah pisang untuk dijadikan sale.

"Akang ga dibawain juga, Yah?"

"Oh, maaf Kang, enggak. Yayah bikinnya kemarin sedikit."

"Kebetulan Ceuceu datang. Gantiin Mar, ya. Mar mau pulang dulu. Belom masak." Maryam berkata seraya bangkit dari duduknya. Lalu berlalu begitu saja keluar dari dapur.

Yayah tersenyum, lalu dengan senang hati mengambil alih pekerjaan adik bungsunya tersebut.

"Tumben, ke sini. Pasti ada maunya, nih. Hayoh siah ngakuuu. Biasanya juga kamu mah kalo ga di suruh mah ga bakal kemari."

Yayah terkesiap. Merasa ditelanjangi di hadapan emak. Tebakan kakak keduanya itu tepat sekali.

Sementara emak, seolah-olah tak begitu ambil pusing. Masih fokus dengan pisangnya.

"Burhan, tolong itu kandang ayam emak pintunya benerin. Kabur mulu itu si Jago."

"Ah, Mak. Burhan kan udah rapi begini. Masih aja disuruh ngurus kandang ayam."

Burhan protes. Namun, meski merutuk, akhirnya tetap dikerjakan juga.

"Kenapa, Yah?" tanya Mak Rukoyah setelah di dapur hanya tinggal mereka berdua.

"Emak tahu, kamu teh lagi susah hati. Wajah kamu ga bisa bohong."

Yayah menatap mata wanita yang rambutnya sudah berwarna perak itu.

"Mmm, begini, Mak,"

Akhirnya, Yayah mengutarakan maksud kedatangannya. Menceritakan kondisi keuangan juga suaminya.

Mak Rukoyah tak berkata apa-apa. Ia beranjak ke ruangan paling sudut. Kamar ukuran 3x3 yang di dalamnya terdapat peti kayu dengan ukuran setengah dari ruangan itu. Isinya tak lain adalah persediaan padi. Di sudut ruangan pun masih ada dua karung padi yang tak tertampung di dalam peti.

"Yah, nanti bawalah yang ini," ucap Mak Rukoyah sambil menunjuk salah satu karung.

Yayah berjalan mendekati ibunya dengan tergemap. Tak menyangka jika ia akan diberikan satu karung padi. Niat awalnya hanya akan meminjam beberapa liter beras untuk membuat bubur selama Kang Wawan masih sakit.

"Kalo uang, emak ga punya. Sekarang lagi musim paceklik. Emak ga menjual satu butir pun padi hasil panen. Takut ga ada buat makan. Makanya ga pegang duit. Coba kamu minta tolong sama si Burhan."

"Minta tolong apaan?"

Tiba-tiba Burhan sudah berdiri di ambang pintu. Merasa namanya disebut, pria berpenampilan klimis itu menatap bergantian wajah emak dan Yayah.

"Ini si Yayah lagi kena musibah. Suaminya kecelakaan. Coba kamu kasihin pinjam uang barang sedikit mah. Kasian. Kamu kan kemaren abis jual tanah sama orang kota itu."

"Halah, bahasanya pinjam, pinjam. Pinjam itu kata lainnya dari minta. Bilang aja mau minta duit. Bener kan kata akang. Kamu ke sini kalo ga disuruh itu pasti ada maunya. Ck!"

Burhan pun mengeluarkan dompet dari saku celana. Kemudian menghitung isinya.

Sedang Yayah hanya bisa tertunduk.

"Berapa kali akang bilang. Makanya, cari suami itu yang pinter nyari duit. Bukan yang pinter nyusahin." Burhan berkata di sela-sela acara hitung uang yang tak kunjung selesai.

"Nih, dua ratus rebu. Dah ga usah diganti. Akang tau kamu ga bakal mampu ganti. Alesan doang bilang pinjem mah." Burhan mengulurkan empat lembar uang bergambar Presiden Soeharto.

"M-makasih, Kang."

"Jangan makasih doang. Besok kamu ke rumah. Gilingin padi. Akang dah ga punya beras. Sama itu, nanti liatin kebon pandan akang. Udah bisa dipanen buat bikin samak belom. Kalo udah, nanti kamu yang kerjain."

"B-baik, Kang."

Burhan pun pergi. Pamit pulang ke Mak Rukoyah. Namun, masih terdengar oleh Yayah gerutuan yang keluar dari mulutnya.

"Dasar, punya adik satu ini, selalu aja ...." Suara Burhan menghilang seiring langkahnya yang kian menjauh.

Yayah terpekur. Masih menunduk menatapi jemari kaki.

"Ga usah bantuin emak bikin sale. Bukannya Wawan mau pulang? Udah buruan, pergi ke penggilingan. Biar cepat punya beras." Mak Rukoyah menepuk punggung anaknya. Sesungguhnya ia sangat terenyuh melihat nasib putrinya itu.

"Makasih, Mak."

"Ga usah makasih. Aku ini emakmu,"

"Kalo gitu, Yayah mau pulang dulu ya, Mak."

Mak Rukoyah pun membantu Yayah untuk menjunjung karung padi itu di kepalanya.

Setelah mengucap salam, Yayah pun berjalan pulang. Berniat menggiling padi di sekitaran kampungnya saja.

Ketika tiba di pertigaan jalan yang cukup sepi. Yayah menurunkan karung padi dari kepala. Menengok ke kiri dan kanan, memastikan tak ada orang lain. Kemudian, ia berjalan ke balik pohon randu yang tumbuh di pinggir jalan.

Yayah berjongkok. Kemudian memeluk lututnya. Kepalanya menunduk hingga dahinya menyentuh lengan.

Tak lama butiran air mata mengalir menganak sungai. Wanita berkulit gelap karena terbakar matahari itu sesenggukan. Ada rasa sesak yang ingin ia keluarkan. Selama ini, ia selalu berusaha untuk tak mengeluh apalagi meneteskan air mata di depan anak-anak
Ia tak ingin menjadi orang yang lemah. Jika tak tegar bagaimana ia bisa bertahan.

Hanya saja, ada kalanya Yayah merasa rapuh seperti saat ini.

Diam-diam, ada rasa malu menyembul ke permukaan. Malu sama Yang Kuasa. Betapa masih jauhnya ia dari rasa syukur. Padahal hari ini, Allah telah memberikan kemudahan dan jalan keluar dari kesusahan. Meski tadi sempat sakit hati dengan ucapan kakaknya, tetapi bukankah itu sudah jadi tabiat Burhan? Jarang sekali dia berkata tanpa menorehkan luka.

Ditengah deraian tangisnya, tiba-tiba terdengar suara ranting patah yang terinjak. Yayah sontak mendongak.

Melihat siapa yang ada di dekatnya. Bertambah malu dan sedihlah ia.

Comments

Popular posts from this blog

Persyaratan Prmbuatan SKCK oleh POLRES ASAHAN KISARAN

Proses masuk islam dan syaratnya orang bisu (dipersulit)

Panduan Memakai ATM BCA Gojek dan Bedanya Dengan ATM BCA Biasa